gober hero

Sabtu, 02 Oktober 2010

pencitraan: malaysia lebih pintar dari sby

(sumber: malaysiainfocus.com)
Ketika hubungan dua negara memanas, Malaysia bermain cantik dengan politik pencitraan yang pas. Indonesia hanya bisa ternganga, walaupun memiliki presiden yang dianggap jago dalam politik pencitraan.
[Update pukul 16.00 WIB: Malaysia memanggil Dubes Da'i Bactiar untuk dimintai penjelasan mengenai kasus lemparan tahi ke Kedubes Malaysia. Beritanya ada di bawah]
Jika dirunut ke belakang, peristiwa-peristiwa yang membuat hubungan Malaysia-Indonesia memanas kebanyakan berada di daerah abu-abu (grey area) yang tidak diatur secara jelas.
Contoh yang paling mutakhir adalah peristiwa ditangkapnya 3 orang pegawai Departemen Kelautan dan Perikanan di perairan Tanjung Berakit. Kawasan perbatasan ini merupakan daerah abu-abu yang masih dalam proses perebutan antara Malaysia dan Indonesia.
Contoh lain adalah perebutan lagu Rasa Sayange yang sudah lama berlalu. Siapa pencipta lagu ini, tidak jelas. Sejarahnya pun simpang siur. Maka wajar jika mengundang konflik kepemilikan.
Juga soal TKI ilegal. Walaupun statusnya ilegal, mereka telah memberi kontribusi positif dalam pembangunan Malaysia. Keberadaan mereka memungkinkan majikan Malaysia menekan biaya produksi dengan membayar gaji yang rendah. Jadi biarpun status hukumnya ilegal, tetapi status riil-nya legal karena mereka masih bisa direkrut untuk bekerja. Ini juga wilayah abu-abu yang membuka banyak interpretasi.
Ketika konflik bermula dari masalah yang tidak jelas statusnya, politik pencitraan memegang peranan penting. Di sini saya melihat Malaysia bermain sangat cantik.
Untuk kasus 3 pegawai DKP misalnya, katakanlah memang terjadi di wilayah yang masih diperebutkan, tetapi “kesalahan” Malaysia sebenarnya lebih berat karena menahan 3 orang pegawai pemerintah Republik Indonesia yang sedang menjalankan tugas resmi. Sebaliknya, Indonesia “hanya” menahan 7 orang nelayan dan peristiwa tertangkapnya nelayan ini memang sudah rutin terjadi di wilayah perbatasan.
Indonesia gagal bermain dengan apik. Indonesia gagal mem-blow up peristiwa tertangkapnya 3 orang pegawai DKP untuk meraih simpati publik domestik dan internasional. Presiden SBY tidak langsung menjemput ketiga pegawai DKP itu di pelabuhan, bahkan ketiga pegawai DKP itulah yang berusaha keras menemui Presiden SBY.
Bandingkan dengan kecantikan pencitraan yang pernah dilakukan Presiden Gloria Macapagal-Arroyo ketika Malaysia menggelar Ops Nyah di tahun 2002 untuk mengusir ribuan pekerja ilegal. Gloria Arroyo dengan telak men-skak mat Perdana Menteri Mahathir Mohamad.
Ceritanya begini. Dalam Ops Nyah 2002, ribuan buruh ilegal Filipina - yang sudah berkontribusi banyak dalam pembangunan Malaysia - diusir secara kasar dan dikirim pulang melalui pelabuhan laut menumpang kapal yang kelebihan muatan. Banyak yang jatuh sakit. Secara hukum Filipina tidak punya posisi kuat karena yang diusir adalah buruh ilegal.
Tetapi Gloria Arroyo bermain apik. Dia sendiri datang ke pelabuhan, menggandeng orang-orang tua turun dari kapal, dan secara keras mengecam PM Mahathir Mohamad. Ada seorang buruh ilegal yang mengalami pelecehan seksual oleh aparat Malaysia dan Gloria Arroyo langsung menyambar kasus ini sebagai senjata menyerang Mahathir.
Malaysia tunduk. Jenderal Fidel Ramos dikirim ke Malaysia untuk berjumpa Mahathir dengan membawa poin-poin perundingan yang harus diterima oleh Malaysia. Sangat jarang Mahathir kalah dalam pertarungan politik, tetapi Gloria Arroyo melakukannya dengan sangat cantik.
Kembali ke kasus 3 orang pegawai DKP. Malaysia tahu bahwa Indonesia pasti bermain bodoh. Terbukti betul. Tiga pegawai DKP itu tidak diperlakukan istimewa di negaranya sendiri, bahkan ada yang menuduh mereka sengaja berbohong untuk menarik simpati.
Malaysia tahu bahwa ada sebagian kecil rakyat Indonesia yang berkepala panas seperti massa Bendera. Malaysia sabar menunggu. Dan akhirnya tahi meluncur ke Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta.
Kini giliran Malaysia melancarkan serangan masif melalui politik pencitraan. Sejak kemarin, koran-koran Malaysia mengangkat kasus pelemparan tahi tersebut menjadi berita utama. Koran-koran berbahasa Inggris, Cina, dan Tamil menyebarkan berita tercela itu ke pelosok dunia. Menghina kedutaan merupakan praktik tercela dalam hubungan diplomatik, dan Malaysia di sini memiliki poin penentu kemenangan.
Dunia internasional akan melihat Indonesia sebagai bad boy dan Malaysia sebagai good boy yang teraniaya.
Jangan heran jika sebentar lagi Pemerintah Indonesia mengirim nota permintaan maaf kepada Malaysia. Satu-kosong untuk Malaysia.
[UPDATE: Seperti yang saya ramalkan, Menteri Luar Negeri Malaysia Anifah Aman sudah memanggil Duta Besar Indonesia Da'i Bachtiar datang menghadap di Wisma Putra. Dipanggil datang menghadap - betul-betul skor satu kosong untuk Malaysia! Beritanya muncul di Utusan Malaysia jam 4 sore WIB]
Kunci kemenangan Malaysia adalah loudspeaker diplomacy dengan berupaya menggiring opini internasional melalui politik pencitraan. Harus diakui Indonesia kurang pintar menjalankan loudspeaker diplomacy.
Loudspeaker diplomacy memang barang baru di ASEAN. Dulu ketika Pak Harto, Mahathir Mohamad, dan Lee Kuan Yew masih ada, ASEAN memang menjalankan silent diplomacy. Semua masalah diselesaikan diam-diam, atau kalaupun tidak selesai langsung disapu ke bawah karpet. Tapi kini kesemua orang kuat itu sudah hilang dari peredaran, kenapa Indonesia masih ngotot menjalankan silent diplomacy?
 dikutip dari bimo tejo

Tidak ada komentar: